![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg_1aCGi9nhlNgekbxxhwCpirLLNQ3cwI5QuChV85m9CJWpEGYEGy_i-1kYrl-hYXzBu-gVDS0aMrzqd_b6DftE7kYlEI1F6za1gRiDGTf0cexLnYbS70wolQUodUZ16f0EmQa4FIReZFI_/s400/HDR.jpg)
Selama ini saya melihat ada semacam “salah kaprah” diantara teman-teman fotografer maupun photoshoper, tentang apa dan bagaimana itu HDR (sebelumnya disebut HDRI atau High Dynamic Range Imaging). Dari beberapa teman fotografer yang sempat saya ajak diskusi terungkap, bahwa selama ini mereka memahami HDR itu sebatas gaya pengeditan. Sehingga selama ini orang lebih banyak menilai foto HDR itu dari segi output/hasilnya ketimbang memahaminya sebagai sebuah “proses”. HDR kadang dipahami sebagai “olahan yang sangar” dengan menggunakan software tertentu ketimbang memahaminya sebagai salah satu cabang fotografi yang juga memerlukan keterampilan teknis dalam prosesnya.
Olehnya itu saya merasa tergelitik untuk membuat catatan kecil ini guna membuka wawasan kita tentang apa HDR itu sebenarnya.
Dynamic range (DR) adalah istilah yang cukup umum digunakan dalam berbagai disiplin ilmu, namun kali ini lebih kita persempit spesifikasinya yaitu hanya untuk fotografi. DR adalah rentang nilai luminance dari paling gelap ke terang.
Tabel ini merangkum beberapa nilai DR untuk beberapa tahapan yang berbeda dari berbagai jenis kondisi pencahayaan:
Jenis Dynamic Range Stop
Mata manusia 10.000:1 ~ 14 EV
Kamera film sekitar 2000:1 ~ 11 EV
Kamera digital umumnya ~ 400:1 ~ 8,5 EV
Monitor komputer yang baik 500:1 - 1000:1 9 - 10 EV
(Royce Howland, The High Dynamic Range (HDR) Landscape Photography Tutorial, NatureScapes, July 2006)
Nah, itu tadi bahasa susah/fisikanya hehehe...
Penjelasan sederhananya begini...
Dari tabel di atas kelihatan, bahwa Dynamic Range mata manusia memiliki nilai yang jauh (sangat tinggi) dibanding dengan DR kamera digital. Apa konsekuensinya? Contoh paling nyata adalah pada foto “silhouette” (kadang disebut siluet saja). Misalnya jika kita memotret model dengan backgroud langit yang cerah. Tentu saja yang menjadi dilema adalah persoalan meteringnya. Karena jika kita metering pada langitnya, untuk mendapatkan kesan awan yang dramatis misalnya, tentu saja subjek foto/modelnya akan jadi siluet. Akan tetapi jika kita metering pada wajah model misalnya, maka tentu saja langitnya akan menjadi wash-out, putih semua tanpa ada kesan dari awan yg dramatis tadi.
Padahal... jika kita melihat dengan mata kita, hal tersebut tidak akan terjadi bukan? Mata kita bisa “menangkap” setiap detail model di depan kita, sekaligus bisa “menangkap” detail awan yang menjadi backgroundnya. Itulah sebabnya, semasa awal-awal saya motret landscape, saya kadang mendengar keluhan rekan-rekan hunting saya, mengapa foto mereka tidak bisa sama dengan apa yg dilihat oleh mata mereka? Ternyata sebagian masalahnya karena perbedaan Dynamic Range itu!
Dari sini bisa kita menarik kesimpulan, bahwa foto HDR itu adalah foto yang bisa menampilkan detail antara area gelap dan area terang yang kontrasnya tinggi, minimal mendekati (karena tidak mungkin menyamai...) apa yang bisa ditangkap oleh mata kita.
Itulah yang membuat saya “jatuh cinta” pada HDR, karena ternyata, dibalik itu semua saya menemukan sebuah filosofi, bahwa secanggih apapun kamera/lensa kita, tetap tidak akan bisa menyamai “lensa” ciptaan Yang Maha Kuasa, yaitu mata kita sendiri...
0 komentar:
Posting Komentar